
Ada beberapa waktu yang kita lewati bersama
sedari pagi namun tak pernah menyentuh senja. Tak sampai menggelitik ufuk barat
yang mewarna saga. Seperti tak pernah belajar kalau senja adalah fitrah dari
perputaran bumi pada porosnya. Lalu kita, dengan polosnya bersembunyi dari
siang. Lalu kapan lagi kita menikmati setiap rindu yang tersaji hanya di terik
mentari.
Lalu kita kembali menunggu pagi dengan
melangkahi senja. Tapi kita baru saja terbangun dari mimpi terburuk, perpisahan.
Untungnya pagi masih tetap bersahabat dengan mengirimkan beburung menyampaikan
kekicau lewat celah jendela. Mengabarkan pagi lewat dingin embun yang perlahan
menyisip di antara atap-atap rumah. Dengan malas kita bangun menyambut nyanyian
parau ayam tetangga.
Ada hal-hal yang memang kadang aku tak mengerti
tapi kenapa harus aku terima? Ini jalan berkerikil yang harusnya tak kutempuh.
Cinta sejati itu memberi sayap-sayap, menyediakan bahu sebagai landasan terbang.
Lalu kenapa kau tak pernah kembali sebelum senja? Selalu saja menunggu gelap
baru kau pulang, tak pernah lelah bertualang. Tapi ada pula cinta seperti
belenggu yang tak rela membiarkan terbang, harus berkubang di lumpur yang
sama.
Kau tak sadar kalau akulah petualangan
tersulitmu. Hatiku tak pernah bisa kau taklukkan. Tubuhku tak pernah kau daki
hingga puncaknya. Berdiri di sini saja. Injak kepalaku dan tatap dunia yang tak
pernah kau lihat sebelumnya.
Aku lupa ini senja yang keberapa yang tak
sempat kita lalui bersama

0 komentar:
Posting Komentar